Selasa, 08 November 2011

PENGARUH PERDAGANGAN TERHADAP PEREKONOMIAN DI DALAM NEGERI

BAB I
PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang
Dibukanya suatu perekonomian terhadap hubungan luar negeri mempunyai konsekuensi yang luas terhadap perekonomian dalam negeri. Konsekuensi ini mencakup aspek ekonomis maupun nonekonomis, dan bisa bersifat positif maupun negatif bagi Negara yang bersangkutan. Semua ini perlu kita kaji sebelum kita bisa mengatakan apakah perdagangan luar negeri bermanfaat atau tidak bagi suatu Negara.
Di muka kita telah menyebutkan dua konsekuensi penting dari perdagangan, yaitu:
a) adanya manfaat dari perdagangan (gains from trade) seperti yang dicerminkan oleh pergeseran keluar dari garis CPF.
b) Adanya kecenderungan ke arah spesialisasi dalam produksi barang-barang yang mempunyai keunggulan komparatif.

Kedua akibat ini termasuk “akibat ekonomis” dari perdagangan luar negeri. Ada akibat-akibat lain yang bersifat nonekonomis pada akhir bab ini. Tetapi materi utama pembahasan dalam bab ini adalah pengaruh-pengaruh ekonomis dari perdagangan. Kedua pengaruh ekonomis di atas hanyalah sebagai dari seluruh pengaruh ekonomis dari perdagangan. Pengaruh-pengaruh ekonomis ini bisa digolongkan dalam tiga kelompok:
a) Pengaruh-pengaruh pada konsumsi masyarakat (consumption effects).
b) Pengaruh-pengaruh pada produksi ( production effects).
c) Pengaruh-pengaruh pada distribusi pendapatan masyarakat (distribution effects).

1.2 Tujuan Penulisan Makalah
Makalah ini kami tujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Ekonomi Internasional, yang kebutulan kami membahas materi yang berjudul “Pengaruh Perdagangan Terhadap Perekonomian dalam Negeri”. Semoga makalah ini bisa menambah wawasan dan pengatuhan kita semua.

BAB II
PEMBASAHAN


A. PENGARUH PERDAGANGAN TERHADAP PEREKONOMIAN DALAM NEGERI
1. PENGARUH TERHADAP KONSUMSI
Seperti disebutkan di atas, satu pengaruh penting pada konsumsi masyarakat adalah bergesernya garis Consumption Possibility Frontier (CPF) ke atas. Ini berarti bahwa karena perdagangan, masyarakat bisa berkonsumsi dalam jumlah yang lebih besar dari pada sebelum ada perdagangan. Ini sama saja dengan mengatakan bahwa pendapatan riil masyarakat (yaitu, pendapatan yang diukur dari berapa jumlah barang yang bisa dibeli oleh jumlah uang tersebut), meningkat dengan adanya perdagangan.
Mengenai makna pergeseran CPF ini, kita bisa melihatnya dari segi lain. Kita akan perkenalkan konsep yang sering disebut dengan nama transformasi. Transformasi adalah proses pengubahan sumber-sumber ekonomi atau barang-barang dalam negeri menjadi barang-barang lain yang bisa memenuhi kebutuhan (konsumsi) masyarakat. Konsep transmormasi ini mencakup:
a) Transformasi melalui produksi, yaitu memasukkan sumber-sumber ekonomi (input) ke dalam pabrik-pabrik dan proses produksi lain untuk menghasilkan barang
b) Transformasi melalui perdagangan, yaitu menukarkan suatu barang dengan barang lain yang (lebih) kita butuhkan. Dari segi arti ekonomisnya menukarkan suatu barang dengan barang lain melalui perdagangan adalah juga suatu “proses pengubahan”, tidak ada bedanya dengan proses pengubahan melalui pabrik-pabrik (proses produksi). Keduanya mencapai hasil yang sama, yaitu mengubah satu barang menjadi barang lain (yang dianggap lebih bernilai atau lebih dibutuhkan).
Dalam ekonomi tertutup hanya ada satu proses transformasi, yaitu “proses produksi”. Bila perdagangan dibuka, proses transformasi bagi masyarakat menjadi dua macam, yaitu “proses produksi” dan “proses perdagangan/ pertukaran”. Inilah sumber dari sumber kanaikan riil (CPF) masyarakat dari perdagangan luar negeri: yaitu adanya kemungkinan yang lebih luas (dan lebih menguntungkan) untuk mentransformasikan sumber-sumber ekonomi dalam negeri menjadi barang-barang yang dibutuhkan masyarakat. Jadi menutup kemungkinan bahwa transformasi melalui perdagangan adalah sama saja dengan menutup kemungkinan diperolehnya kenaikan pendapatan riil. Beberapa besar kanaikan pendapatan riil dari adanya perdagangan seperti yang diuraikan dalam Bab III, tergantung pada sampai berapa jauh dasar penukarannya “membaik” setelah ada perdagangan.
Ada satu lagi pengaruh yang penting dari perdagangan terhadap pola konsumsi masyarakat. Pengaruh ini dikenal dengan nama demonstration effects. Pengaruh terhadap konsumsi yang diuraikan di atas sebenarnya berkaitan dengan peningkatan kemampuan berkonsumsi, yaitu pendapatan riil masyarakat. Demonstration effects atau “pengaruh percontohan” adalah pengaruh yang bersifat langsung dari perdagangan terhadap pola dan kecenderungan berkonsumsi masyarakat. Pengaruh ini bisa bersifat positif atau bersifat negatife. Demonstration effects yang bersifat positif adalah perubahan pola dan kecenderungan berkonsumsi yang mendorong kemauan untuk berproduksi lebih besar. Jadi misalnya J.S Mill berkata bahwa “terutama di Negara-negara yang masih pada tahap perkembangan ekonomi yang rendah …ada kemungkinan penduduknya ada dalam keadaan tertidur dan puas diri, dengan perasaan bahwa selera dan keinginan mereka sudah semuanya terpenuhi…… Dibukanya perdagangan luar negeri kadang-kadang bisa mempunyai pngaruh yang serupa dengan ‘revolosi indusrtri’, dengan diperkenalkan barang-barang baru kepada penduduk atau karena terbukanya kemungkinan bagi mereka untuk memperoleh barang-barang baru kepada penduduk atau karena terbukanya kemungkinan bagi mereka untuk memperoleh barang-barang yang sebelumnya tak terbayangkan bisa terjangkau oleh mereka… ”.
Demonstration effects yang bersifat negatif adalah apabila dibukanya hubungan dengan luar negeri menimbulkan pola dan kebiasaan konsumsi asing yang tidak sesuai dengan tahap perkembangan perekonomian tersebut. Misalnya, mayarakat (dimulai dari golongan yang berpenghasilan tinggi) cenderung untuk meniru gaya dan kebiasaan hidup dari Negara-negara maju lewat “contoh-contoh” yang ditunjukkan lewat media dan film, televisi, majalah-majalah dan sebagainya. Akibatnya ada kecenderungan bagi masyarakat tersebut untuk berkonsumsi yang “berlebihan” (dilihat dari tahap perkembangan ekonomi dan kemampuan produksi masyarakat). Dengan lain perkataan, propensity to consume menjadi terlalu tinggi. Ini mengakibatkan sumber ekonomi yang tersedia untuk investasi rendah, dan ini berarti bertumbuhan ekonomi yang rendah.
Menentukan apakah pengaruh positif lebih besar dari pengaruh negative dan sebaliknya, adalah persoalan yang sulit. Kita harus melihat kasus demi kasus. Banyak bentuk pengaruh yang tidak bisa diukur dengan cepat, sehingga unsur subyektivitas (atau kecenderungan idiologis) sering tidak bisa dihindari. Beberapa Negara (seperti RRC dan beberapa Negara sosialis lain) berpendapat bahwa pengaruh negatifnya lebih besar. Menurut mereka dibukanya hubungan luar negeri merangsang kebiasaan hidup yang individualistis, pola konsumsi yang mewah dan menggoyahkan keyakinan idiologis masyarakat terhadap sistem negaranya. Negara-negara barat yang telah maju dan sejumlah Negara-negara berkembang beranggapan sebaliknya, yaitu pengaruh negatifnya tidak melebihi pengaruh positifnya. Sampai sekarang belum diketahui secara pasti apakah tingkat investasi (dan tingkat pertumbuhan) menjadi lebih rendah atau menjadi lebih tinggi dengan adanya perdagangan luar negeri. RRC dan beberapa Negara sosialis lain dengan perokonomian yang relative tertutup, bisa mencapai laju pertumbuhan yang sangat tinggi. Sebaliknya Jepang, Singapura, Hongkong, Taiwan, yang mempunyai perekonomian terbuka juga bisa mencapai laju pertumbuhan yang sangat mengesankan.
Demikian pula, apakah dibukanya hubungan perdagangan luar negeri menimbulkan pola dan gaya konsumsi masyarakat yang “keliru”, adalah masalah yang sulit dijawab secara tegas. Orang bisa mengatakan bahwa dalam masyarakat yang tertutup pun (seperti masyarakat-masyarakat fiodal dan masa lampau) bisa terjadi pola konsumsi yang berlebihan dan pemborosan-pemborosan sosial oleh golongan-golongan masyarakat tertentu. Dan sebaliknya, masyarakat yang terbuka mungkin bersifat hemat dan tidak menunjukkan sifat konsumsi yang berlebihan. Nampaknya ada faktor lain yang lebih menentukan apakah suatu masyarakat adalah masyarakat yang hemat dan berpola konsumsi wajar atau masyarakat yang boros dan berpola konsumsi mewah. Faktor ini adalah pola distribusi kekayaan dan pendapatan yang ada di dalam masyarakat. Pola distribusi yang timpang menimbulkan pola konsumsi yang timpang dan boros, dan ini berlaku baik bagi ekonomi tertutup maupun ekonomi terbuka. Adanya perdagangan luar negeri mungkin membuat ketimpangan pola konsisumsi tersebut ebih menyolok, karena mereka yang melakukan konsumsi yang berlebihan cenderung untuk memilih barang-barang “luar negeri” dan gaya hidup “luar negeri”. Namun dalam hal ini masalah pokoknya sebenarnya bukan karena masyarakat tersebut membuka hubungan dengan luar negeri, tetapi karena sejak awal distribusi kekayaan dan pendapatan di dalam negeri memang timpang. Jelas menutup diri dari peraturan ekonomi dunia bukanlah obatnya.
Singkatnya “demonstration effects” memang ada, apakah efek negatifenya atau efek positifnya yang lebih menonjol sulit ditentukan scara umum. Ini tergantung situasinya dan kasus demi kasus. Namun kita juga harus berhati-hati dalam menentukan apakah pola konsumsi yang “keliru” memang karena demonstration effects atau sebab-sebab lain.

2. PENGARUH TERHADAP PRODUKSI
Perdagangan luar negeri mempunyai pengaruh yang kompleks terhadap sektor produksi di dalam negeri. Secara umum kita bisa mnyebutkan empat macam pengaruh yang bekerja melalui adanya:
a) Spesialisasi produksi.
b) Kenaikan “investasi surplus”.
c) “Vent for surplus”.
d) Kenaikan produktivitas.
a) Spesialisasi
Kita telah melihat bahwa perdagangan internasioanal mendorong masing-masing Negara ke arah spesialisasi dalam produksi barang di mana Negara tersebut memiliki keunggulan komparatifnya. Dalam kasus constant-cost, akan terjadi spesialisasi produksi yang penuh, sedangkan dalam kasus increasing-cost terjadi spesialisasi yang tidak penuh. Yang perlu diingat disini adalah bahwa spesialisasi itu sendiri tidak membawa manfaat kepada masyarakat kecuali apabila disertai kemungkinan menukarkan hasil produksinya dengan barang-barang lain yang dibutuhkan. Spesialisasi plus perdagangan bisa meningkatkan pendapatan riil masyarakat, tetapi spesialisasi tanpa perdagangan justru menurunkan pendapatan riil dan kesejahteraan masyarakat.
Tetapi apakah spesialisasi plus perdagangan selalu menguntungkan suatu Negara? Dalam urain kita dalam bab-bab sebelumnya, kita menyimpulkan, bahwa CPF sesudah perdagangan selalu lebih tinggi atau setidak-tidaknya sama dengan CPF sebelum perdangan. Ini berarti bahwa perdagangan tidak akan membuat pendapat riil masyarakat lebih rendah, dan sangat mungkin membuatnya lebih tinggi. Tetapi perhatikan bahwa analisa semacam ini bersifat “statik”, yaitu tidak memperhitungkan pengaruh-pengaruh yang timbul apabila situasi berubah atau berkembang, seperti yang kita jumpai dalam kenyataan.
Ada tiga keadaan yang membuat spesialisasi dan perdagangan tidak selalu bermanfaat bagi suatu Negara. Ketiga keaadaan ini berkaitan dengan kemungkinan spesialisasi produksi yang terlalu jauh, artinya adanya sektor produksi yang terlalu terpusatkan pada satu atau dua barang saja. Ketiga keadaan ini adalah:
a) Ketidakstabilan pasar luar negeri
Bayangkan suatu Negara yang karena dorongan spesialisasi dari perdagangan, hanya memproduksikan karet dan kayu. Apabila harga karet dan harga kayu dunia jatuh, maka perekonomian dalam negeri atomotis akan ikut jatuh. Lain halnya apabila Negara tersebut tidak hanya berspesialisasi pada kedua barang tersebut, tetapi juga memproduksikan barang-barang lain baik untuk ekspor maupun untuk kebutuhannya dalam negeri sendiri. Turunnya harga dari satu atau dua barang mungkin bisa diimbangi oleh naiknya harga barang-barang lain. Inilah pertentangan atau konflik antar spesialisasi dan diversifikasi spesialisasi bisa meningkatkan pendapatan riil masyarakat secara maksimal, tetapi dengan resiko ketidaksetabilan yang tinggi. Sebaliknya diversifikasi lebih menjamin kesetabilan pendapatan tetapi dengan konsekuensi harus mengorbankan sebagian dari kenaikan pendapatan dari spesialisasi. Sekarang hampir semua Negara di dunia menyadari bahwa spesialisasi yang terlalu jauh (meskipun didasarkan atas prinsip keunggulan komparatif, seperti yang ditunjukikan oleh teori ekonomi) bukanlah keadaan yang baik. Manfaat dari diversifikasi harus pula diperhitungkan.
b) Keamanan nasional
Bayangkan suatu Negara hanya memproduksikan satu barang, misalnya, dan harus mengimpor seluruh kebuthan seluruh kebutuhan bahan makanannya. Meskipun karet adalah cabang produksi di mana Negara tersebut memiliki keunggulam komparatif yang paling tinggi, sehingga bisa meningkatkan CPFnya setinggi mungkin, tentunya keadaan seperti diatas tidak sehat. Seandainya terjadi perang atau apapun yang menghambat perdagangan luar negeri, darimanakah diperoleh bahan makanan bagi penduduk Negara tersebut? Jelas bahwa pola produksi seperti yang didektekan oleh keunggulan komparatif tidak harus selalu diikuti apabila ternyata kelangsungan hidup Negara itu sendiri sama sekali tidak terjamin.
c) Dualisme
Sejarah perdagangan internasional Negara-negara sedang berkembang, terutama semasa mereka masih menjadi koloni Negara-negara eropa, ditandai oleh timbulnya sektor ekspor yang berorientasi ke pasar dunia dan yang sedikit sekali berhubungan dengan sektor tradisional dalam negeri. Sektor ekspor seakan-akan bukan merupakan bagian dari negeri itu, tetapi bagian dari pasar dunia. Dalam keadaan seperti ini spesialisasi dan perdagangan internasional tidak member manfaat kepada perekonomian dalam negeri. Keadaan ini dinegara-negara sedang berkembang setelah kemerdekaan mereka, mereka sudah menunjukkan perubahan. Tetapi sering belum merupakan perubahan yang fundamental. Sektor ekspor yang “modern” masih Nampak belum bisa menunjang sektor dalam negeri yang “tradisional”.
Ketiga keadaan tersebut di atas adalah peringatan bagi kita untuk tidak begitu saja dan tanpa reseve menerima dalil perdagangan Neoklasik bahwa spesialisasi dan perdangan selalu menguntungkan dalam keadaan apapun. Tetapi dipihak lain, urain di atas tidak merupakan bukti bahwa manfaat dari perdagangan tidaklah bisa dipetik dalam kenyataan. Teori keunggulan komparatif masih memiliki kebenaran dasarnya, yaitu bahwa suatu Negara seyogyanya memanfaatkan keunggulan komparatifnya dan kesempatan “transformasi lewat perdagangan”. Hanya saja perlu diperhatikan bahwa dalam hal-hal tertentu pertimbangan-pertimbangan lain jangan dilupakan.

b) Investible Surplus Meningkat
Perdagangan meningkatkan pendapatan riil masyarakat. Dengan pendapat riil yang lebih tinggi berarti Negara tersbut mampu utuk menyisihkan dana sumber-sumber ekonomi yang lebih besar bagi investasi (inilah yang disbut “Investible Surplus”). Investasi yang lebih tinggi berarti laju pertumbuhan ekonmi yang lebih tinggi. Jadi perdagangan bisa mendorong laju pertumbuhan ekonomi.
Inilah inti dari pengaruh perdagangan internasional terhadap produksi lewat Investible Surplus. Ada tiga hal mengenai pengaruh ini yang perlu di catat:

Kita harus menanyakan berapa dari manfaat dari perdagangan (kanaikan pendapatan riil) yang diterima oleh warga tersebut, dan berapa yang diterima oleh warga Negara asing yang memiliki faktor produksi, misalnya modal, tenaga kerja, yang dipekerjakan dinegara tersebut. Dengan lain perkataan yang lebih penting adalah berapa kenaikan GNP, bukan kenaikan GDP, yang ditimbulkan oleh adanya perdagangan.
Kita harus menanyakan pula berapa dari kenaikan pendapatan riil karena perdangan tersebut akan diterjemahkan menjadi kenaikan investasi dalam negeri, dan berapa ternyata dibelanjakan untuk konsumsi yang lebih tinggi atau di transfer keluar negeri oleh perusahaan-perusahaan asing sebagai imbalan bagi modal yang ditanamkannya? Dari segi pertumbuhan ekonomi yang penting adalah kenaikan investasi dalam negeri dan buhkan hanya “Investible Surplus”-nya.
Kita harus pula membedakan antara “pertumbuhan ekonomi” dan “pembangunan ekonomi”. Disebutkan diatas bagaimana dualisme dalam struktur perekonomian bisa timbul dari adanya perdagangan internasional. Di masa lampau, dan gejala-gejalanya masih tersisa sampai sekarang, kenaikan Investible Surplus tersebut cenderung untuk diinvestasikan di sektor “modern” dan hanya sedikit yang mengalir ke sektor “tradisiomal”. Pertembuhan semacam ini justru mempertajam dualisme dan perbedaan antara kedua sektor tersebut. Dalam hal ini kita harus berhati-hati untuk tidak mempersamakan pertumbuhan ekonomi dengan pembangunan ekonomi dalam arti yang sesungguhnya.
Inti dari uraian di atas adalah bahwa kenaikan Investible Surplus karena perdangan adalah sesuatu yang nyata. Tetapi kita harus mempertanyakan lebih lanjut siapa yang memperoleh manfaat, berapa besar manfaat tersebut yang direalisir seperti sebagai investasi dalam negeri, dan adakah pengaruh dari manfaat tersebut terhadap pembangunan ekonomi dalam arti yang sesungguhnya.


c) Vent For Surplus
Konsep ini aslinya berasal dari Adam Smith. Menurut Smith, perdagangan luar negeri membuka daerah pasar baru yang lebih luas bagi hasil-hasil dalam negeri. Produksi dalam negeri yang semula terbatas karena terbatasnya pasar di dalam negeri, sekarang bisa diperbesar lagi. Sumber-sumber ekonomi yang semula menganggur (surplus) sekarang memperoleh saluran (vent) untuk bisa dimanfaatkan, karena adanya daerah pasar yang baru. Inti dari konsep “Vent For Surplus” adalah bahwa pertumbuhan ekonomi terangsang oleh terbukanya daerah pasar yang baru. Sebagai contoh, suatu negara yang kaya akan tanah pertanian tetapi berpenduduk relative sedikit. Sebelum kemungkinan perdagangan dengan luar negeri terbuka, Negara tersebut hanya menghasilakan bahan makanan yang cukup untuk menghidupi penduduknya dan tidak lebih dari itu. Banyak tanah yang subur dan cocok bagi pertanian dibiarkan tak terpakai. Dengan adanya kontak dengan pasar dunia, Negara tersebut mulai menanam barang-barang perdagangan dunia seperti lada, kopi, teh, karet, gula dan sebagainya dengan memanfaatkan tanah pertanian yang menganggur tersbut. Dengan demikian pertumbuhan ekonomi meningkat.
Yang perlu dicatat disini adalah bahwa pemanfaatan tanah-tanah pertanian baru tersbut memerlukan modal dan investasi yang sangat besar, jauh melebihi kemampuan Negara itu sendiri untuk membiayayainya. Oleh sebab itu sejarah mencatat bahwa pembukaan perkebunan-perkebunan hampir selalu berasal dari modal asing. Ini jelas dari sejarah Negara-negara seperti Indonesia, Malaysia, india, Sri Langka dan banyak lagi lainnya. Dimasa sekarang sumber-sumber ekonomi yang belum dimanfaatkan kebanyakan tidak lagi berupa tanah-tanah pertanian (meskipun kadang-kadang masih demikian), tetapi berupa sumber-sumber alam (khususnya, energy) dan kadang-kadang juga tenaga kerja yang berlimpah dan murah. Modal yang besar dan teknologi tinggi diperlukan bagi pemanfaatan sumber-sumber alam ini, dan semua itu seringkali diluar kemampuan Negara pemilik sumber-sumber tersebut untuk membiayayi dan nelaksanakannya. Jadi tetap memerlukan modal (dan tekhnologi) asing. Perhatikan bahwa inti dari proses “Vent For Surplus” ini tetap sama, baik dulu maupun sekarang yaitu: sumber-sumber ekonomi yang tidak bisa dimanfaatkan kecuali apabila ada saluran ke pasar dunia dan apabila modal asing diperkenankan masuk. Perbedaan pokoknya adalah bahwa di masa lampau Negara-negar pemiik sumber-sumber alam tersebut adalah Negara jajahan, sedangkan sekarang adalah Negara merdeka dengan pemerintahan nasionalnya. Kunci daripada apakah proses “Vent For Surplus” ini akan menghasilkan pembangunan ekonomi dalam arti sesungguhnya ataukah hanya “pertumbuhan ekonomi” seperti yang telah terjadi di zaman lampau, terletak ditangan pemerintah nasional. Mereka harus bisa meraih sebagian besar dari “manfaat perdagangan” yang dihasilkan dan menggunakannya bagi kepentingan pembangunan nasionalnya dalam arti yang sebenarnya.

d) Produktivitas
Pengaruh yang sangat penting dari perdagangan luar negeri terhadap sektor produksi adalah berupa peningkatan produktivitas dan efesiensi pada umumnya. Kita bisa membedakan tiga sumber utama dari peningkatan produktivitas dan efesiensi yang timbul oleh adanya perdagangan luar negeri.
a) Economies of Scale
Masalah economies of scale ini sudah kita uraikan dalam bab V dan tidak perlu kita ulang lagi disini. Yang penting adalah bahwa dengan makin luasnya pasaran, produksi bisa diperbesar dan dilakukan dengan cara yang lebih murah dan efisien. (Economies of scale menurunkan run average cos dari sesuatu sektor industri).

b) Teknologi Baru
Perdagangan internasional dan hubungan luar negeri pada umumnya dikatakan sebagai media yang penting bagi penyebaran teknologi dari negera-negara maju ke Negara-negara belum maju. Bentuk yang langsung dari penyebaran teknologi ini adalah apabila dengan dibukanya hubunga dengan luar negeri, suatu Negara bisa mengimpor barang (misalnya, mesin) yang bisa meningkatkan produktifitas didalam negeri. Sebagai contoh, suatu Negara sedang berkembang mengimpor komputer untuk memeperbaiki produktifitas aparat pemerintahannya. Sebetulnya yang di impor disini adalah “teknologi baru” yang tergantung dalam mesin tersebut. Bentuk penyebaran teknologi yang bersifat tidak langsung tetapi yang sering kali justru sangat penting, adalah apabila para produsen dalam negeri mempoeroleh pengetahuan mengenai produk-produk baru, cara-cara yang lebih efisien dalam produksi, pemasaran dan manajemen perusahan pada umumnya, semangat dan motivasi baru untuk melakukan inofasi dan sebagainya. Misalnya, di masa lampau petani-petani Indonesia memperoleh manfaat dari perkebunan-perkebunan Belanda berupa pengetahuan mengenai produk-produk baru (kopi, teh, tembakau, karet, gula dan sebagainya) yang laku di pasar dunia dan cara-cara penanamannya yang baik. “belajar” teknologi baru seperti ini sering mempunyai pengaruh yang lebih mendalam dan bersifat lebih lestari daripada hanya “membeli” teknologi seperti dalam contoh komputer di atas.

c) Ransangan Persaingan
Peningkatan ifisiensi tidak hanya bisa terjadi lewat teknologi baru, tetapi juga bisa “lewat pasar”. Dikatakan bahwa dibukanya perdangan internasional tidak jarang membuat sektor-sektor tertentu di dalam perekonomian yang semula “tertidur” dan tidak efisien menjadi sektor-sektor yang lebih dinamis, berkat adanya pengaruh persaingan dari luar. Sebagai contoh, misalnya ada sau sektor domestic yang dikuasai oleh sebuah perusahaan monopoli yang tidak efisisen. Kerugian yang ditanggung masyarkat dengan adanya sektor seperti ini cukup tinggi. Namun, karena berbagai hal, tidak ada perusahaan dalam negeri yang bisa masuk kesektor ini dan mengeser posisi perusahan monopoli tersebut. Apabila kemudian hubungan luar negeri dibuka, bisa diharapkan bahwa barang-barang yang sama atau serupa dengan hasil produksi sektor tersebut, tetapi yang dijual dengan harga yang lebih rendah dan sering juga dengan kualitas yang lebih baik, akan mengalir masuk ke dalam negeri. Dalam hal ini dibukanya perdagan mempunyai pengaruh yang serupa dengan masuknya perusahan-perusahaan baru yang lebih efisien kedalam sektor tersebut. Jadi perdagangan luar negeri bisa meningkatkan efisiensi suatu sektor melalui peningkatan persaingan. Dalam praktek. Apabila keadaan seperti itu terjadi maka bisa diharapkan bahwa perusahaan monopoli yang merasa bahwa kelangsungan hidupnya dibahayakan tersebut akan berusaha sekuat tenaga untuk menghalang-halangi mengalirnya barang-brang dari luar negeri, misalnya dengan menuntut pengenaan bea masuk yang tinggi. Dalam hal ini pemerintah harus mempertimbangkan berbagai kepentinga, termasuk kepentinga konsumen, produsen, buruh dan kepentingan masyarakat pada umunya. Sering kali masalahnya menjadi sulit dan rumit, karena argumentasi ekonomi sering dikacuakan dengan argumentasi politis, dan kepentingan golongan atau sektorat sering dikacaukan dengan kepentingan umum.
Ada beberapa hal yang penting untuk dicatat menganai kemungkinan peningkatan produktifitas (efisiensi) melalui hubungan internasional ini. Di antara ketiga sumber peningkatan produktifitas, yaitu: Economies of scale, teknologi baru dan rangsangan persaingan, satu telah mendapatkan penekanan dan perhatian khusus dari Negara-negara yang sedang berkembang. Sumber ini adalah: tekhnologi baru. Masalah “pemindahan tekhnologi” atau “transfer of technology” dari Negara maju ke Negara sedang berkembang merupakan topik yang banyak diperbincangkan baik dikalangan keilmuan maupun dalam perundingan-perundingan internasional antara kelompok Negara sedang berkembang dengan kelompok Negara maju. Pemindahan teknologi dilihat sebagai salah satu kunci dari keberhasilan pembangunan di Negara-negara sedang berkembang. Sampai berapa jauhkah negeara sedang berkembang bisa memperoleh manfaat teknologi baru melalui perdagangan internasional, modal asing dan bantuan luar negeri? Jawaban untuk
a) Sampai berapa jauhkah produsen dan pelaku-pelaku ekonomi di dalam negeri siap untuk menerima teknologi baru tersebut? Hal ini menyangkut bukan hanya keterampilan dan pengetahuan minimal yang harus lebih dulu dimiliki oleh para produsen, buruh di dalam negeri, tetapi juga berkaitan dengan kesiapan sikap mereka, dan dengan ada tidaknya lingkungan yang menunjang pengalihan teknologi tersebut. Ketidaksiapan dari pihak penerima tidak jarang merupakan faktor penghambat penting dalam praktek, meskipun Negara-negara sedang berkembang sendiri tidak selalu mau mengakuinya dengan jujur.
b) Sampai berapa jauhkah Negara-negara maju (termasuk perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi di Negara tersebut) bersedia untuk memeberikan dan mengajar teknologi mereka kepada Negara sedang berkembang? Kemajuan dan kejujuran yang sunguh-sunguh, dipihak Negara maju merupakan pula sarat utama dari berhasilnya program pengalihan teknologi ini. Itikad yang sunguh-sungguh dari pihak Negara maju (dan perusahaan-perusahaannya) untuk menyebarkan dan mengajarkan teknologinya juga perlu dipertanyakan, kalau kita lihat betapa lambatnya proses “transfer of technology” ini berjalan dalam praktek.
Ada satu masalah lagi, selain proses pengalihan teknologi itu sendiri, yang perlu diperhatikan. Masalah ini adalah mengenai sesuai tidaknya teknologi yang dialihkan bagi kepentingan pembangunan Negara sedang berkembang. Teknologi yang dikembangkan dinegara-negara maju bersumber pada desakan dan keadaan di Negara-negara sedang berkembang mungkin menuntut teknologi yang sangat berbeda. Sekarang orang mulai mempertanyakan apakan komputer, traktor-traktor besar, mesin-mesin serba otomatis, memang teknologi yang diperlukan oleh Negara-negara sedang berkembang pada saat ini. Apakah tidak lebih efektif apabila Negara-negara maju membantu Negara-negara sedang berkembang dalam perkembangan teknologi baru yang langsung merupakan jawaban bagi kebutuhan Negara sedang berkembang dan tidak hanya memberikan apa yang telah dikembangkan di Negara maju? Dari sini timbul ide-ide mengenai pentingnya mengambangkan “teknologi madya” dan sebaginya. Tetapi sampai saat ini belum ada jawaban yang tegas dari pertanyaan-pertanyaan seperti ini, dan belum ada kesepakatan di antara para ekonom sendiri.
Bagaimanah dengan sumber peningkatan produktifitas lainnya (yaitu: Economies of scale dan ragsangan persaingan?) sayang bahwa kedua sumber ini tidak memperoleh perhatian yang sepadan dibanding dengan sumber “teknologi baru tersebut”. Kedua sumber ini (setidak-tidaknya secara otomatis) tidak kalah pentingnya dengan pengalihan teknologi.

3. PENGARUH TERHADAP DISTRIBUSI PENDAPATAN
Apakah pengaruh dibukanya hubungan internasional terhadap distribusi pendapatan?
Ada dua sudut pandangan yang mempunyai kesimpulan yang bertolak belakang satu sama lain. Sudut pandangan yang pertama adalah dari kaum Neoklasik dan sudut pandangan yang kedua adalah dari golongan yang tidak percaya akan kebenaran teori Neoklasik (termasuk disini golongan ekonom radikal, dan ekonom yang tidak tergolong radikal, tetapi anti Neoklasik, seperti Gunnar Myrdal).
Meneurut kaum Neoklasik hubungan luar negeri memepunyai pengaruh lebih meratakan distribusi pendapatan di dalam negeri dan antar Negara. Menurut mereka, hubungan luar negeri mempengaruhi distribusi pendapatan lewat dua saluran utama, yaitu saluran perdagangan dan saluran aliran modal.
Bagaimana bekerjanya proses pemerataan pendapatan lewat perdagangan. Kita kembali kepada model Heckscher-Ohlin yang kita bahas dalam bab V. Satu kesimpulan penting dari modal ini adalah bahwa suatu Negara cenderung bersepesialisasi dalam barang-barang yang menggunakan faktor produksi yang tersedia relative lebih banyak di dalam negeri. Jadi, Negara B yang memiliki relative lebih bayak tenaga kerja dari pada barang capital, cenderung bersepesialisasi dalam produksi barang-barang yang padat karya. Sedangkan Negara A yang relative lebih kaya barang kapital daripada tenaga kerja cenderung untuk bersepesialisasi dalam produk barang-barang yang padat capital. Inilah inti dari teori Heckscher-Ohlin. Apakah konsekuensi selanjutnya dalam kesimpulan ini? Sebelum perdagangan terjadi, di negeri B yang langkah barang capital akan dijumpai “harga” barang capital yang sangat tinggi. Ini berarti bahwa pendapat dari pemilik barang capital (per unti capital) adalah sangat tinggi, sedang pendapatan dari pemilik tenaga kerja (buruh) adalah rendah. Sebaliknya, di Negara A, pengahasilan per unit capital relative lebih rendah daripada penghasilan per unit tenaga kerja. Sekarang perdagangan terjadi. Negara B akan berspesialisasi dalam produksi barang padat karya dan Negara A dalam produksi barang padat capital. Di Negara B, kecenderungan spesialisasi ini berarti bahwa pengunaan (atau “permintaan”) akan tenaga kerja meningkat, sedang pengunaan (atau “permintaan”) akan barang capital relative menurun. Yang terjadi selanjutnya dalah “harga” barang capital relafif menurun dan “harga” tenaga kerja relative meningkat dan penghasilan pemilik capital menurun. Di Negara A sebaliknya terjadi. Karena sepesialisasi kearah barang-barang yang padat capital, pengahasilan buruh menurun dan penghasilan pemilik modal meningkat. Jadi kesimpulannya adalah bahwa perdagangan cenderung meratakan distribusi pendapatan.
Bagaimana dengan adanya kemungkinan modal mengalir dari satu Negara ke Negara lain? Adanya kemungkina ini memperkuat lagi proses kearah kemerataan distribusi pendapat. Kecenderungan yang timbul adalah bahwa modal akan mengalir dari Negara A yang memiliki banyak capital relative banyak ke Negara B yang langkah barang capital, dan aliran ini cenderung menyamakan penghasilan pemilik capital di kedua Negara, yaitu pemilik Negara capital di negara A mengalami kanaikan penghasilan dan pemilik capital di Negara B mengalami penurunan penghasilan. Jadi adanya kemungkinan faktor produksi capital mengalir dari satu ngara ke Negara lain, memperkuat kecenderungan kearah distribusi pendapatan yang lebih merata. Seandainya faktor produksi tenaga kerja juga diperkenankan untuk mengalir dari Negara satu ke Negara lain (yaitu, seandainya buruh bebas untuk berpindah negara) maka terdapat kecenderungan kearah penyamaan tingkat upah dan tingkat bunga secara sempurna. Ironisnya, mereka yang mendukung kebebasan perdagangan dan kebebasan aliran modal seringkali tidak mendukung kebebasan aliran tenaga kerja.
Marilah kita melihat dari sudut pandangn kelompok ekonomi yang lain. Bagaimanakah pendapat mereka? Sebenarnya sebagian besar dari pandangan mereka sudah diuraikan dalam Bab V, sehingga tidak perlu diulangi lagi secara detail. Pada azasnya, mereka mengatakan bahwa kesimpulan-kesimpulan Neoklasik di atas adalah bertentangan dengan sejarah maupun kenyataan yang ada sekarang. Perdagangan bebas dan penanaman modal asing justru tidak jarang mempertajam ketimpangan, baik dalam distribusi pendapatan antar Negara maupun distribusi pendapatan antar warga masyarakat di dalam suatu Negara. Unsur-unsur monopolistis dan faktor-faktor sosio-politis dalam kenyataan yang sangat menetukan hasil akhir dari hubungan internasional antar Negara, ternyata “perdagangan bebas” dan penanaman modal asing justru memperlebar jurang antara Negara miskin dan Negara kaya. Di dalam suatu Negara, “perdagangan bebas” dan penanaman modal asing hanya bisa menumbuhkan sektor “moderen” dan tidak terhadap sektor “tradisional”. Dan kesenjangan (gap) antara sektor ini dan sektor “tradisional” justru semakin lebar. Di dalam negeri kekuasaan perusahaan-perusahaan internasioanal semaikin besar dan mematikan perusahaan-perusahaan kecil dalam negeri. Menurut mereka distribusi penapatan akan semakin buruk.
Mana yang betul? Masalah ini mungkin bisa jadi bahan pemikiran untuk direnugkan pembaca. Masing-masing mempunyai unsur kebenarannya, tetapi tidak satupun yang mewakili seluruh kebenaran. Sikap ilmiah yang baik mungkin adalah tidak melakukan generalisasi atau penarikan kesimpulan umum mengenai masalah ini. Kita harus bersifat terbuka dan tidak a priori, bersedia melihat masalahnya kasus demi kasu seobyektif mungkin.

4. ASPEK NON-EKONOMIS
Apa yang kita bahas di atas adalah pengaruh-pengaruh ekonomis dari hubungan internasinal terhadap perekonomian dalam negeri. Aspek ekonomi hanyalah salah satu aspek dalam hubungan internasional meskipun mungkin merupakan aspek yang sangat penting, kalau tidak yang paling penting. Oleh sebab itu bentuk dan pola hubungan luar negeri yang baik bagi suatu Negara tidak bisa ditentukan oleh para ekonom saja. Kebijaksanaan luar negeri yang baik adalah apabila terdapat sinkronisasi dan keseimbangan antar aspek ekonominya dan aspek-aspek lain, sperti aspek cultural, aspek politik, dan aspek militer. Pengaruh dan pembukaan hubungan luar negeri terhadap kebudayaan, kehidupan politik dan setrategi militer bagi suatu Negara adalah sangat luas dan kompleks. Namun semuanya mempunyai kaitan erat dengan aspek ekonomis yang telah kita uraikan di atas. Oleh sebab itu buknlah suatu pelanggaran etika profesi apabila ekonom juga ikut berbicara mengenai aspek ekonomis dari kebijaksanaan kebudayaan luar negeri, politik luar negeri, dan setrategi militer luar negeri. Tentu saja, sebaliknya ekonom juga harus bersedia mendengarkan pendapat para ahli dibidng-bidang lain tersebut, dalam merumuskan kebijaksanaan kebijakan luar negeri yang tepat.

BAB III
PENUTUP


1.1 Kesimpulan Semantara
Pengaruh hubungan luar negeri terhadap perekonomian dalam negeri bisa dikelompokkan sebagai pengaruh terhadap konsumsi, pengaruh terhdap produksi, dan pengaruh terhdap distribusi pendapata.
Pengaruh utama dalam konsumsi ada dua, yaitu: kenaikan CPF (atau pendapatan riil), efek percontohan (demonstration effects).
Demostration effecrs bisa bersifat positif (merangsang minat berproduksi) atau bersifat negative (mrangsang konsumsi berlebihan). Apakah pengaruh positif atau negative yang menonjol harus dilihat kasus demi kasus.
Pengaruh terhadap produksi bisa digolongkan menjadi pengaruh: Spesialisasi, Vent for surplus, peningkatan produktivitas. Spesialisasi mempunyai aspek positif dan negative-nya. Aspek negatifnya bisa di atasi dengan divesrsifikasi produksi.
Perdagangan luar negeri menciptakan pasaran yang lebih luas “vent” bagi hasil produksi dalam negeri, sehingga sumber-sumber ekonomi yang belum semua dimanfaatkan “surplus” bisa dimanfaatkan. Modal dan teknologi asing biasanya diperlukan untuk pemanfaatan sumber-sumber ekonomi ini. Di masa lampau modal dan teknologi asing masuk ke sector perkebunan, sekarang ke sector-sektor sumber-sumber alam (energi mineral,).

1.2 Saran
Perdagangan internasional membawa pengaruh yang cukup besar dalam perekonomian Indonesia. Pengaruh tersebut ada yang bersifat positif, ada pula yang negative. Banyaknya barang-barang impor yang masuk ke dalam negeri menyebabkan semakin banyak barang yang ada di pasar baik dari jumlah, jenis, dan bentuknya. Akibatnya akan mendorong seseorang untuk lebih konsumtif, karena semakin banyak barang-barang pilihan yang dapat dikonsumsi. Harapan saya semoga pembaca tidak menjadi konsumtif yang berlebihan. Sehingga Negara tidak terus mengimpor barang dari luar negeri karena Kegiatan mengimpor ini dapat mengakibatkan ketergantungan dengan negara pengimpor.

DAFTAR PUSTAKA



Budiono. (1981). Ekonomi Internasional. Yogyakarta: Liberty